Jika
anda adalah orang yang tinggal di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan
atau orang yang sedang berkunjung ke daerah itu maka ada baiknya membaca
tulisan ini.
Ini
adalah catatan perjalanan yang penulis alami. Penulis melakukan suatu
perjalanan dari Makassar menuju Bulukumba pada hari Minggu, 30 Juni 2013
dengan seorang kawan. Kami berangkat dari Makassar pukul 06.30 dan tiba
di Bantaeng sekitar pukul 09.00.
Penulis
berhenti disebelah kiri jalan. Tepatnya di Jalan Pemuda No. 6, Patung
Segitiga Mannapiang. Ada sebuah warung Coto Makassar yang penulis
kunjungi. Warung ini terletak disebelah kiri Jalan Poros Bantaeng
Bulukumba. Tak jauh dari Bengkel Suzuki dan jembatan.
Kami
lalu memesan dua mangkuk Coto Makassar. Harga yang terpampang di daftar
menu ialah Rp.13.000. Harga ketupat ialah Rp.1.000. “Menurut saya harga
ini terbilang mahal”, batinku.
Setelah
coto dihidangkan diatas meja oleh bapak yang bernama Saat mencicipi
coto khas ini penulis merasakan sesuatu yang berbeda. Rasa yang tak
biasa. Berbeda dari coto yang penulis biasa makan ketika berada di
Makassar. Kuahnya begitu kental. Rasanya pas. Tak kurang dan tak lebih.
Pokoknya menggetarkan lidah.
Beberapa saat kemudian masukan seorang pemuda. Penulis mencoba bertanya kepada si pemuda tersebut. “Mengapa kita* makan di warung ini?”
“Warung
ini berbeda dari yang lain”, demikian katanya. Pikiran saya membenarkan
apa yang baru saja ia ucapkan. Memang rasa coto disini tak biasa.
“Bukankah harga coto disini mahal?” tanyaku lagi.
“Disini murah. Di tempat lain ada yang harganya Rp.15.000” jawabnya.
“Oh begitu ya. Saya kira harga coto disini paling mahal”.
Saya
baru tahu ternyata warung milik Bapak Andi Sapri ini cukup terjangkau
bagi masyarakat Bantaeng. Tak ada ruginya jika anda mencoba berkunjung
kesana.
*kita = panggilan sopan pengganti kata kamu untuk orang Bugis-Makassar
0 komentar: