Mata Najwa hari itu mengundang tiga pembicara: Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng), Suyoto (Bupati Bojonegoro), dan Ridwan Kamil (Walikota Bandung). Nama terakhir tidak perlu saya bahas karena nampaknya sudah terlalu sering
Nama pertama adalah Nurdin Abdullah. Seorang guru besar dan mantan dirut 3 perusahaan di Jepang. Sudah puluhan tahun membangun kerajaan bisnisnya dengan negeri matahari terbit, namun hatinya luluh ketika didatangi 3000 masyarakat Bantaeng yang memintanya naik ke kursi Bantaeng satu. Hingga dengan dukungan partai gurem pun beliau berhasil mengantongi 46% suara masyarakat Banten pada tahun 2008. Kemudian terpilih kembali di periode dua untuk masa jabatan 2013-2018.
Selama 5 tahun kepemimpinan bupati Nurdin Abdullah, beliau mencanangkan program The New Bantaeng dengan menetapkan pendekatan tiga kluster penanganan dan pengembangan sesuai karakteristik dan potensi daerah yang tiga dimensi — pegunungan, dataran dan pantai untuk peningkatan kesejahteraan rakyat Bantaeng. Pengembangan potensi dilakukan diiringi upaya besar-besaran membangun infrastruktur jalanan. Dari titik 0 di dataran rendah jaringan jalan kini sudah mencapai wilayah-wilayah pegunungan diketinggian 1.300 dpl dengan kondisi beraspal hotmix. Sejumlah fasilitas berkaitan dengan pengembangan infrastruktur industri, pariwisata, pelayanan kesehatan, dan pendidikan serta pelayanan dasar lainnya sudah dihadirkan di Bantaeng. Hasilnya, angka kemiskinan yang melebihi 12 persen (1998) kini sudah berahsil ditekan kurang dari 7 persen. Angka pengangguran dari lebih 12 persen menjadi sekarang sisa sekitar 3 persen. Laju pertumbuhan ekonomi dari hanya 5 koma persen kini menjadi 8,9 persen di daerah yang berpenduduk sekitar 170 ribu jiwa tersebut.
Memasuki periode kedua, tampaknya ada tekad Nurdin Abdullah mengembangkan industri-industri layanan dasar di kabupaten Bantaeng. Kini sudah ada 6 investor merencanakan membangun smelter atau pabrik pengolahan bijih nikel dan bijih besi di Bantaeng. Investasinya sekitar Rp 20 Triliun. Melalui MoU yang sudah ditandatangani dengan Badan Keuangan Amerika-Eropa akan ada guyuran dana investasi sekitar Rp 1 triliun untuk membangun dan mengembangkan Pelabuhan Laut di Kota Bantaeng. Ada rencana investasi Rp 29 Triliun untuk membangun kilang pengolahan minyak, bensin dan avtur di Bantaeng. Guna menopang pembangunan industri tersebut sudah siap dibangun pembangkit listrik berkekuatan 600 Mega Watt. (sumber dari sini)
Hal yang paling kentara lainnya adalah memajukan pendapatan per kapita masyarakat Bantaeng dari 4 juta menjadi 14 juta. Kemudian program Rumah Sakit 8 lantai yang beliau canangkan hampir jadi untuk mengubah sentral kesehatan dari Makassar ke Bantaeng.
Beliau menyebut setiap dedikasinya adalah sedekah.
—
Nama kedua adalah Suyoto, bupati Bojonegoro. Seperti Nurdin, Suyoto pun mengawali pengabdian untuk publik dari dunia akademis. Ini juga merupakan masa jabatan kedua baginya, setelah naik pada Pilkada 2008. Dengan proporsi suara 44,38 persen, Suyoto dan pasangannya memenangi 22 dari 27 kecamatan yang ada.
Bojonegoro adalah ladang minyak. Namun, Beliau tidak ingin masyarakat Bojonegoro hanya gigit jari dengan kerukan emas hitam yang terus disedot perusahaan minyak. Masyarakat harus ikut makmur dan terlibat. Inilah yang menjadi dasar pemikiran beliau dengan memberikan 5000 beasiswa untuk anak-anak Bojonegoro sekolah tentang Migas. Beliau juga terus mengajak agar bagaimana perusahaan minyak untuk mengikutsertakan masyarakat Bojonegoro untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan hardskill.
Lainnya adalah realisasi proyek pembangunan bendung gerak yang sejak zaman Belanda sudah direncanakan untuk mitigasi banjir sekaligus keran air untuk pertanian, terutama di musim kemarau. Bendungan ini mampu mencukupi kebutuhan pengairan bagi lahan pertanian seluas 6.400-9.000 hektar karena mampu menampung debit air hingga 13 juta kubik dengan debit air 5.850 liter per detik. Dengan pembangunan bendungan ini, petani yang berada di bantaran sungai Bengawan Solo, khususnya di atas bagian hulu bendungan akan mempu meningkatkan produktivitas pertanian. Sebelumnya petani hanya bisa melakukan tanam dua kali setahun, sekarang diharapkan bertambah menjadi tiga kali tanam dalam setahun. (sumber dari sini)
Berkat beliau, Bojonegoro mendapatkan penghargaan dalam acara International Conference on Sustainable Development (ICDS) 2013 dalam rangkaian KTT APEC. Pembangunan infrastruktur khususnya jalan desa, menjadi salah satu kesuksesan Pemkab Bojonegoro karena selama ini jalan-jalan di Bojonegoro menggunakan aspal dan cenderung rusak disebabkan oleh kontur tanahnya yang termasuk labil atau mudah goyah namun Bupati Bojonegoro Suyoto melakukan terobosan dengan menggunakan paving block sebagai alternatif pengganti aspal, selain menghemat biaya APBD yang dikeluarkan dan tidak mudah rusak penerapan paving block ini menciptakan industri lokal baru.
Kepiawaian Suyoto sebagai Bupati di Bojonegoro telah memberikan vaksin baru terhadap virus korupsi yang selama ini terjadi di Bojonegoro. Otto Scharmer pendiri Presencing Institute yang juga merupakan dosen senior di Massachusetts Institute of technology (MIT) memiliki catatan menarik tentang Bojonegoro ini. Menurutnya, sejak pemerintahan Indonesia menetapkan desentralisasi pada 2005, Bojonegoro termasuk Kabupaten yang paling banyak ditemukan kasus korupsi dan pelayanan masyarakat sangat minim. Namun pada 2011-2012 terjadi perubahan besar-besaran di Bojonegoro.
Peran Beliau dalam memimpin Bojonegoro memberikan perubahan nyata, seperti membuka komunikasi seluas-luasnya dengan masyarakat baik bertemu secara berkala di pendopo Kabupaten, berkomunikasi lewat SMS, maupun blusukan ke desa-desa dan bahkan setiap orang bisa bertemu dengannya di kantornya selain itu Beliau juga kerap kali melakukan dialog dengan warga setiap jumat melalui siaran radio maupun bertatap muka di Pendopo Kabupaten terkait masalah yang dialami warga mulai dari masalah pertanian, pendidikan, ekonomi, dan lainnya. (sumber dari sini)
Itulah dua orang kepala daerah yang bekerja dengan hati untuk masyarakatnya.
Ya. Harapan itu masih ada!
0 komentar: